Siberkaltim.id– Pemilihan umum (Pemilu) 2024 akan dilakukan dua tahapan dan dihari yang sama yakni Rabu tapi di bulan berbeda. Tahap pertama, pemungutan suara Pemilihan Presiden (Pilpres), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, DPRRI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, 14 Februari 2024. Tahap kedua, Pemilihan kepala daerah (Pilkada) gubernur, bupati atau walikota, 27 November 2024.
Ketetapan hari pemungutan suara ini, disahkan DPRRI bersama pemerintah dan penyelenggara pemilu pada Rapat Dengar Pendapat di Gedung Komisi II DPRRI, Senin, (24/1/2022). Otomatis, Pemilu 2 tahap ini memudahkan para anggota legislatif terpilih berpeluang mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Karena jumlah dukungan hingga melenggang ke kursi legislatif dapat diketahui berapa besar dukungan. Jika dukungan mutlak bisa digunakan lagi untuk memilih kepala daerah dari kalangan legislatif tadi.
“Memang benar, bahwa pemungutan suara dilakukan dua tahap tersebut,” kata Ketua KPU Kubar Arkadius Hanye, saat memberikan sambutan Rapat Pengelolaan Kehumasan digelar Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kubar di Hotel Sidodadi, Kubar, Kamis (22/12/2022). Acara ini dibuka Muhtar Kusuma Atmaja, Pelaksana harian Ketua Bawaslu Kubar dan mengundangkan narasumber Rudy Suhartono, menyampaikan cara membuat berita yang benar dan kode etik jurnalistik. Para peserta dari para wartawan di Kubar-Mahulu, Dinas Komunikasi dan Informatika Kubar, dan Kwarcab Pramuka Kubar.
Seperti dilansir www.bawaslu.go.id , Ketua Bawaslu RI Abhan mengatakan, pada prinsipnya Bawaslu siap melaksanakan pengawasan pemilu. “Kami (Bawaslu) sudah siapkan simulasi kalender pengawasan, penanganan pelanggaran dan penyelesaian sengketa proses pemilu,” kata Abhan.
Sementara itu, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyatakan, pemilihan tanggal 14 Februari, memberi ruang yang cukup jika nantinya ada peserta pemilu dalam pilpres mengajukan sengketa dan pilpres digelar dua putaran. “Pemerintah ingin prinsip efisien terkait anggaran. Ini keputusan bersama yang harus kita jalankan sebaik mungkin,” tuturnya.
24 PARPOL
Sementara itu, partai politik (parpol) peserta Pemilu 2024 telah ditetapkan KPU 23 parpol. Namun belakangan, Partai Ummat dinyatakan memenuhi syarat sebagai peserta pemilu. Ini setelah, dua provinsi telah memenuhi syarat dalam tahapan verifikasi partai yang diberikan Bawaslu dan KPURI.
Partai Politik Peserta Pemilihan Umum:
1. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
2. Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra)
3. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan)
4. Partai Golongan Karya (Golkar)
5. Partai NasDem
6. Partai Buruh
7. Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora)
8. Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
9. Partai Kebangkitan Nusantara (PKN)
10. Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura)
11. Partai Garda Perubahan Indonesia (Garuda)
12. Partai Amanat Nasional (PAN)
13. Partai Bulan Bintang (PBB)
14. Partai Demokrat
15. Partai Solidaritas Indonesia (PSI)
16. Partai Persatuan Indonesia (Perindo)
17. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
Partai lokal Aceh
18. Partai Nangroe Aceh (PNA)
19. Partai Generasi Aceh Beusaboh Thaat dan Taqwa (Gabthat)
20. Partai Darul Aceh (PDA)
21. Partai Aceh
22. Partai Adil Sejahtera Aceh (PAS Aceh)
23. Partai Soliditas Independen Rakyat Aceh (SIRA)
24. Partai Ummat
Makin Rumit
Pemilu serentak 2024 berpotensi memunculkan kerumitan bagi pemilih maupun penyelenggara di tingkat bawah. Khususnya terkait jumlah surat suara yang akan digunakan nanti.
Penekanan lebih kepada surat suara pemilu karena seperti diketahui untuk pemilu legislatif (pileg) (DPR RI, DPD RI, DPRD provinsi dan DPRD kab/kota) serta Pilpres total ada lima surat suara yang akan digunakan. Sementara untuk pilkada tergolong lebih mudah karena hanya ada satu surat suara yang digunakan.
Seperti dilansir humas KPURI, bahwa tantangan Pemilu 2024, Anggota KPURI Pramono Ubaid Tanthowi mengungkapkan, rencana menyederhanakan desain surat suara yang akan digunakan untuk Pemilu 2024. Konkretnya, akan hanya ada 1 atau 3 surat suara yang dipegang oleh pemilih ketika memberikan hak suaranya di bilik suara nanti. “Jadi 5 pemilu tidak harus 5 surat suara. Pemilunya tetap yang dipilih presiden dan wakil presiden, DPR RI, DPRD provinsi, DPRD kab/kota dan DPD, tapi tidak harus setiap pemilu tadi satu surat suara,” ungkap Pramono.
Menurut Pramono, tujuan dari penyerdehanaan surat suara adalah untuk memudahkan pemilih saat memberikan hak suaranya di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Selain itu juga untuk memudahkan kerja Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang pada Pemilu 2019 lalu sempat kelelahan saat melaksanakan proses penghitungan dan penyalinan hasil suara. “KPPS nya menghitung lebih pendek, karena kalau satu (surat suara misalnya) ya sekali buka tinggal menyebutkan, pilpres dia (pemilih) memilih apa,” tambah Pramono.
Meski demikian wacana ini menurut Pramono juga akan berimbas pada cara penandaan pemilih pada kertas suara. Apabila biasanya pemilih menunjukkan bukti pilihannya dengan cara mencoblos, maka pada Pemilu 2024 nanti, dimungkinkan pemilih menggunakan cara penandaan lain. “Ke depan kalau tidak mencontreng, melingkari atau bahkan pemilih itu menuliskan,” tutur Pramono.
Pramono lebih lanjut memberikan gambaran, apabila nantinya hanya satu surat suara yang digunakan, maka pemilih ketika menentukan pilihan untuk jenis pilpres maka cukup mencontreng atau melingkari nomor urut pasangan calon. Berbeda ketika ketika memilih untuk jenis pemilu legislatif DPR RI dan DPRD prov, kab/kota, maka selain melingkari atau mencontreng nomor partai politik juga menuliskan nomor urut calon legislatif pada kolom yang tersedia. ”Contoh memilih partai A caleg nomor 6, berarti partainya apa di contreng atau dilingkari lalu caleg ditulis nomor urut 6,” jelas Pramono.
Meski demikian wacana ini menurut dia masih terus dimatangkan oleh KPU. Tetap dengan tujuan utama apapun caranya, kenyamanan pemilih adalah yang terdepan. “Jangan sampai salah memilih dan tidak bisa menggunakan hak pilihnya dengan benar. Karena secara teknis kan KPU paling penting itu, pemilih dapat menggunakan hak pilih dengan nyaman,” ucapnya.
Sebagaimana diketahui, pada sejumlah pertemuan KPU menegaskan komitmennya untuk mempermudah proses tahapan Pemilu dan Pemilihan 2024 yang diprediksi akan berjalan sangat kompleks. Selain wacana yang disebutkan di atas, wacana atau usulan lain yang akan disampaikan KPU adalah masa persiapan yang lebih panjang untuk dua jenis pemilihan di 2024 (apabila Pemilu 2019 persiapan hanya 20 bulan maka untuk Pemilu 2024 menjadi 30 bulan). Peniadaan kegiatan pencocokan dan penelitian (coklit) daftar pemilih dengan lebih memperkuat proses pemutakhiran Daftar Pemilih Berkelanjutan (DPB). Mendorong penggunaan Sipol serta meminta kepada partai politik untuk rutin melakukan pemutakhiran data Sipol. Dan yang terakhir penggunaan rekapitulasi elektronik melalui Sirekap.
“Tapi memang untuk melaksanakan terobosan tadi dibutuhkan landasan hukum yang kokoh. Ini jadi syarat mutlak. Maka kita mendorong ada revisi terbatas UU Pemilu dan UU Pemilihan atau sekurangnya Perppu untuk mengakomodir desain surat suara, Sirekap, kampanye dan seterusnya. Dan peraturan teknis itu dituangkan di PKPU yang konsisten dijalankan semua pihak,” tutup Pramono.
Sekadar Wacana, Coblos Partai
Wacana Pemilu 2024 kembali ke sistem proporsional tertutup atau mencoblos partai mengemuka seiring gugatan UU Pemilu yang saat ini diproses Mahkamah Konstitusi (MK).
Dilansir CNN Indonesia, wacana Pemilu 2024 kembali ke sistem proporsional tertutup atau mencoblos partai mengemuka seiring gugatan uji materi UU Pemilu yang saat ini berproses di Mahkamah Konstitusi. Upaya mengembalikan Pemilu pada sistem proporsional tertutup telah digaungkan sejumlah pihak sepanjang tahun ini.
Mereka yang menghendaki rakyat mencoblos partai alih-alih calon legislatif langsung beralasan sistem proporsional terbuka saat ini telah menghamburkan duit negara untuk ongkos Pemilu.
Wacana ini untuk pertamanya kali digaungkan oleh PDIP besutan Megawati Soekarnoputri pada Februari lalu. PDIP menganggap, sistem proporsional terbuka yang diterapkan saat ini menelan ongkos Pemilu mahal.
“Demi kepentingan bangsa dan negara, sistem ini dapat diubah menjadi proporsional tertutup. Ini lebih penting sebagai insentif bagi kaderisasi Partai,” kata Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dalam keterangannya, Minggu (27/2/2022).
Suara senada juga dilontarkan Ketua DPP PDIP bidang Ideologi dan Kaderisasi, Djarot Saiful Hidayat yang meyakini sistem proporsional tertutup mampu menekan praktik jual-beli suara. “Dengan itu maka tidak ada lagi pertarungan antarcalon, mereka yang sekarang ngurusin partai luar biasa, berkorban luar biasa kemudian pada saat pencalonan itu kalah sama orang baru yang membawa duit karena amplopnya lebih tebal, ini tidak fair,” kata Djarot beberapa waktu lalu.
Merespons pernyataan PDIP tersebut, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD turut mendukung kembalinya sistem proporsional tertutup. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu mengklaim bahwa putusan MK tidak pernah memerintahkan penerapan sistem pemilu proporsional terbuka. Wacana ini terus didengungkan oleh MPR dan KPU pada bulan September lalu kala Badan Pengkajian MPR menyambangi Kantor KPU.
Elite PDIP Djarot Saiful Hidayat selaku Ketua Badan Pengkajian MPR menerangkan pihaknya akan mengkaji wacana ini. Djarot juga menyampaikan, Ketua KPU Hasyim Asyari turut melontarkan gagasan itu. Tak hanya itu, Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Sidarto Danusubroto juga meminta pemilihan umum atau Pemilu 2024 menggunakan sistem proporsional tertutup.
Kini gugatan uji materiil terhadap sejumlah pasal pada UU Pemilu yang diajukan oleh Kader PDIP-NasDem itu tengah berproses di MK. Mereka meminta MK membatalkan pasal 168 ayat 2 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 168 ayat 2 UU Pemilu berbunyi: “Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.”katanya.
Putusan MK nantinya akan sangat mempengaruhi skema pemungutan suara di Pemilu 2024 terkait pilihan mencoblos calon anggota legislatif atau lambang partai politik.
Ketua KPU Hasyim Asyari menyatakan ada kemungkinan sistem coblos partai itu kembali diterapkan pada Pemilu 2024. Hasyim memprediksi, MK bisa saja mengabulkan gugatan itu jika berkaca dari jejak putusan selama ini. “Ada kemungkinan, saya belum berani berspekulasi, ada kemungkinan kembali ke sistem proporsional daftar calon tertutup,” kata Hasyim dalam acara Catatan Akhir Tahun 2022 di Kantor KPU RI, Jakarta, Kamis (29/12/2022).
Jika MK mengabulkan gugatan itu, maka daftar nama Caleg di surat suara akan lenyap, pemilih hanya dapat melihat lambang partai politik pada surat suara. Sistem proporsional terbuka yang diterapkan sejak Pemilu 2004 sirna dan sistem proporsional tertutup selayaknya zaman Orde Baru pun kembali diterapkan. Partai politik lagi-lagi menjelma menjadi pemegang otoritas penuh untuk menunjuk kadernya yang akan menjabat sebagai anggota dewan. Sementara rakyat selaku konstituen hanya bisa menunggu siapa Dewan yang akan mewakilinya tanpa bisa memilih langsung.(ton)